Cerpen

 


Gadis Tak Bernasab


"Maaf, ini bintinya kok ke ibunya?" tanya lelaki yang memakai batik cokelat.


"I-iya, Ammara memang begini adanya dan ibunya belum pernah menikah jadi ya ... gini. Ibunya juga sakit." Lelaki yang duduk di sisi gadis berbaju biru itu gugup saat menjawab.


"Sakit apa ya?" tanyanya lagi.


"Orang bilang kurang sehat pikirannya, tapi buat saya itu hanya depresi," jawab sang gadis yang bernama Ammara.


Mereka saling lirik dan menggeleng.


"Wah, maaf kalau begitu... kami kayaknya gak mungkin nikah sama dia apalagi ibunya kurang sehat."


Tangan Ammara mengepal dan menatap ke arah lelaki yang kemarin menjanjikan pernikahan, bahkan meyakinkan bahwa orang tuanya akan setuju dengan apa pun yang terjadi.


"Pah, anaknya kan gak salah. Mungkin Ammara hanya korban, jadi ibunya sakit dan Ammara jadi yatim. Tapi itu kan…"


"Anak yang nasabnya nggak jelas, ibunya kurang sehat. Cuma akan bikin kita punya aib dan sial. Bikin malu!"


Ammara berdiri dan melebarkan pintu.


"Keluar sebelum aku murka, wahai tamu tidak tahu diri!" teriak Ammara dengan mata yang merah. "Hinalah aku seperti yang lain. Tapi jangan sekali-kali lagi menyebut ibuku tidak sehat akal, akan kubakar semua hartamu!"


"Ammara!" teriak sang paman yang sejak tadi mendampinginya.


"Aku sudah bilang, aku tidak butuh menikah! Aku juga sudah bilang sama anakmu! Jangan memaksaku dan memberi harapan! Tapi anakmu yang meyakinkanku!" teriak Amara pada sang paman lalu beralih pada calon suaminya.


Para tamu langsung bubar melihat kemarahan Ammara yang dikenal dingin dan temperamen. Mereka bahkan tahu ini lamaran ke berapa yang dibatalkan pihak lelaki.


Dua puluh kali dia gagal menikah karena mengaku bernasab pada ibunya yang dianggap kurang sehat pikirannya. Bangga, baginya wanita itu layak dibanggakan dengan disematkan nasabnya pada dirinya. Meskipun tak pernah menggendongnya sejak bayi, karena dia diurus oleh bibinya.


Sang paman mendekat dan menatap tajam, lalu membanting pintu rumah agar tertutup. Hanya ada dia dan keponakannya yang ngeyel.


"Apa susahnya sih pura-pura bilang kalau aku ini bapakmu, kenapa harus jujur? Sampai kapan pun kamu gak akan menikah kalau gini." Pamannya berteriak dengan keras dan penuh amarah. "Lihat, si Lela, Ida, Asih, semua sudah menikah padahal konon mereka lahir sebelum pernikahan resmi."


"Dengan risiko pernikahannya gak sah secara agama dan cuma sah di mata orang?" tanya Ammara tajam.


"Halah! Gak usah sok suci kamu. Kamu harus tahu diri soal itu!"


"Aku emang harus tahu diri, tapi masa paman mau aku habiskan seumur hidupku sama lelaki yang secara agama gak sah nikahnya?" Ammara tak mau kalah berteriak.


Sang bibi hanya menyimak, meskipun tangannya yang membesarkan Ammara, tapi dia tak pernah bisa membentuk dan memaksa keponokananya itu.


"Sudah cuman begini tapi mau nikah yang nggak sah juga, lalu apa yang baik dariku?" teriak Ammara.


"Sudah, nasibmu memang tidak beruntung!" Lelaki berpeci hitam itu meninggalkan Ammara yang menatap kosong dan menahan amarah.


"Ra, sekali-sekali nurut sama Mamang."


Ammara menoleh dan menatap bibinya dengan sedih.


"Tapi jelas salah, Bi, masa aku harus menjalani pernikahan yang tidak sah seumur hidupku? Haji Naim saja bilang aku nasabnya sama ibu, masa diubah ke paman? Ya gak bisa. Aku takut makin dosa dan imbasnya ke ibu." Ammara menangis ketika bersama bibinya


Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali ke belakang, membuka kamar ibunya yang selalu bergumam sendirian. Kadang menangis, kadang tersenyum, kadang menggumamkan sebuah nama.


"Siapa sih yang selalu ibu sebut?" tanya Ammara pada bibinya. "Kayak nyebut Rayhan?"


Sang bibi menunduk dengan bingung, ia berusaha mengalihkan bahasan dengan mengatakan ada lowongan pekerjaan di kota kalau tidak jadi menikah.


"Oh ya, si Lili bilang ada lowongan kerjaan di Jakarta buat kamu. Itu juga kalau kamu gak jadi nikah."


"Setiap kali Ammara bertanya tentang siapa laki-laki di masa lalu ibu, Bibi akan mengalihkan bahasan." Ammara berpangku tangan.


"Karena Bibi emang gak tahu siapa. Dulu, ibumu memang naksir pemuda kota yang kebetulan lagi KKN di desa kita. Namanya Rayhan Hadiningrat." Sang bibi akhirnya buka suara.

Ia mengisahkan bahwa Nilasari, ibu Ammara, naksir dan dekat dengan Rayhan Hadiningrat yang melakukan KKN di desa mereka. Keduanya sangat akrab hingga dianggap pacaran. Sebelum Rayhan kembali ke Jakarta, mereka berjanji untuk bertemu di dekat sungai.


Namun, sorenya Nila ditemukan dalam keadaan tak memakai apa pun dan diduga dirudapaksa. Kakaknya itu trauma dan tidak pernah mau bicara siapa pun. Apalagi saat dinyatakan hamil, dia semakin depresi dan hampir mengakhiri hidup si janinnya sendiri.


"Ibumu dipasung dalam keadaan hamil kamu karena kami gak punya uang mengobatinya ke rumah sakit jiwa. Dia tetap makan karena aku suapi, sampai akhirnya kamu pun lahir dengan selamat, Bibi juga yang rawat kamu."


"Jadi, kunci siapa ayahku ada pada lelaki bernama Rayhan Hadiningrat?" tanya Ammara dengan mata yang basah dan isakan yang mati-matian ia tahan.


"Iya kali, Bibi gak ngerti. Tapi, anaknya Rayhan itu sering muncul di telivisi akhir-akhir ini."


"Dia artis?" tanya Ammara penasaran.


"Bukan, tapi pacaran sama artis. Sempat dibahas di infotainment silsilah pengusaha yang lagi deket sama di Natalie itu. Namanya Aarav Demir Hadiningrat, anak dari pengusaha Rayhan Hadiningrat. Fotonya sih mirip sama si Rayhan dulu, awet muda lah, namanya juga kaya."

Ammara pun mengangguk dan menatap sang ibu yang terus tersenyum dan menatap kosong. Tangannya terulur dan memeluk.


"Aku akan cari keadilan untukmu, Bu. Apa pun caranya. Jika dia pelakunya, maka dia harus bertanggung jawab atas air matamu dan sakitmu selama 24 tahun ini."


"Kamu mau apa?" tanya bibinya.


"Enggak," jawab Ammara dengan melepaskan dekapan pada sang ibu. Ia pun masuk kamar dan mengambil ponsel, mengetik nama Rayhan Hadiningrat. Semua tentang lelaki itu keluar di laman pencarian.


Termasuk dia memiliki usaha apa dan nama perusahaannya. Ia pun mencatat alamat kantor Rayhan Hadiningrat. Kemudian mengemasi pakaiannya ke dalam tas ransel.


"Bi, bilang Lili aku besok ke Jakarta. Buat kerja."


"Serius?"


"Aku titip ibuku, nanti semua hasil kerjaku buat Bibi. Maaf, merepotkan Bibi terus." Ammara menatap wanita yang mengangguk itu.


"Dia kakakku."

***

Ammara menatap kota Jakarta sejak keluar dari bus yang ia naiki dan berhenti di terminal Kampung Rambutan. Seumur-umur, dia belum pernah jauh dari ibunya di kampung, kini harus nekat untuk bekerja dan mengamalkan ilmunya.


Ia pun mencari Lili, tetangganya yang sudah bekerja di sebuah salon cukup besar. Konon, butuh bagian administrasi, karena itu mengajak Ammara untuk datang dan melamar di sana.


"Ra!" teriak Lili dari kejauhan dan melambaikan tangan.


Senyum berlesung pipi itu langsung mengembang, seraya berlari ke arah temannya. Berpelukan dan saling melepas rindu. Kemudian berjalan ke parkiran dan menaiki motor milik Lili.


Mereka terus mengobrol banyak hal terutama tentang pekerjaan. Lili menjanjikan surat lamaran Ammara akan dia bawa ke salon, sedangkan Ammara tinggal tunggu wawancara. Sambil menunggu bebas mau apa saja.


"Aku malu kalau cuma numpang makan. Aku mau jualan rempeyek aja, kali aja laku." Ammara bersemangat.


"Nah, peyek lu enak. Bebas deh. Jualan aja di pasar. Kontrakan gue dekat pasar."


"Oke, makasih ya, Li."


Ammara pun tersenyum puas. Karena sesungguhnya tujuannya datang ke Jakarta adalah untuk mencari ayah biologisnya. Ia pun sudah merancang banyak hal untuk bisa masuk dan bertemu Rayhan Hadiningrat.

***

Hari pertamanya di Jakarta, dia berjalan kaki berjualan peyek buatannya di pasar. Habis karena memberikan tester dan semua orang suka. Ia pun semakin semangat membuat lagi dan uang yang dia dapat bisa untuk naik kendaraan menuju kantor Rayhan.


Dengan menggunakan ojek online, dia menatap gedung mewah tempat Rayhan Hadinata berkantor. Ia pun mengamati setiap kendaraan yang masuk. Mengamati satu per satu. Setelah itu masuk dan menatap deretan mobil mewah di parkiran khusus. Ada sekitar sepuluh mobil mewah di sana, dia pun mencatat setiap mereknya dan mencari tahu harganya lewat Google.


Yang termahal, pasti milik bosnya. Benar saja, dia menemukan mobil BMW i8 Coupe, tapi dari namanya justru B 4 ARV, sepertinya milik anaknya Aarav. Kemudian beralih ke Mercedes Benz AMG GLC 63 Coupe dengan nomor polisi B 3 RYH.


"Sepertinya ini milik Rayhan, aku harus amati dia pulang jam berapa dan lewat mana saja." Ammara pun kembali ke parkiran umum, lalu keluar dari halaman perusahaan itu.


Berjam-jam dia menjajakan rempeyek dengan jalan kaki kepada orang-orang yang dia temui di depan gedung itu. Tepatnya di pinggir jalan. Banyak yang membeli banyak juga yang cuek. Hingga mobil milik Rayhan melintas dan dia pulang sekitar pukul tiga sore.


"Sampai ketemu nanti, Rayhan," ujar Ammara dengan kembali memesan ojek online dan kembali ke kontrakannya dengan Lili.

***

Sehari ini, Ammara meminjam motor Lili karena mengikuti mobil Rayhan dan mengamati rutenya. Dia sudah menyiapkan skenario untuk bertemu dan membuat simpati lelaki yang diduga sebagai ayahnya. Ia pun paham, dan mulai membuat sebuah siasat.


Esoknya, dia menunggu tepat jam tiga di jalan yang biasa dilalui Rayhan dan memang tidak terlalu ramai di belokan ini. Ia pun melihat mobil mewah itu datang dari kejauhan. Dengan tersenyum dia sengaja melintas dan pura-pura membetulkan plastik dagangannya. Alhasil mobil mewah itu menghantam tubuhnya meskipun mengerem mendadak.


Ammara terpental ke arah kiri dan dia menjerit memegangi kaki dan kepalanya yang sakit sungguhan.


Seorang pria keluar dari mobil dan berlari ke arahnya sambil bertolak pinggang.


"Emang kamu gak lihat ada mobil lewat?" tanyanya sinis.


Ammara mengangkat wajah, menatap lelaki yang tampan dengan cambang dan rambutnya sedikit panjang.


"Maksud Anda? Aku sengaja?" tanya Ammara berdiri tapi terpincang-pincang.


"Di kota besar ini sudah banyak kasus penipuan macam ini. Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanyanya dengan merogoh saku dan memberikan sepuluh lembar uang berwarna merah ke tangan Ammara.


Gadis itu menatap uang yang disodorkan lelaki tampan tadi.


"Maaf, Anda salah. Saya cuma tukang rempeyek keliling. Makasih, Pak. Saya bisa berobat sendiri kok." Ammara menahan rasa kesal dan sakit bersamaan, karena ternyata mobil itu bukan dikendarai Rayhan.


Dengan terpincang-pincang, Ammara tetap menyeberang dan berusaha tiba di trotoar pembatas antar dua jalan raya, berniat menyeberang lagi dan hendak naik angkot.


"Hey, tunggu!" teriak lelaki yang tak lain adalah Aarav. Dia melihat kaki gadis itu berdarah cukup banyak, pun keningnya robek.


"Sepertinya dia sungguh-sungguh tertabrak," ujar Rayhan keluar dari mobil. "Panggil dia, kasihan."


Rayhan tentu tidak tahu, bahwa gadis itu akan membawa perubahan pada hidupnya yang damai.


Bersambung


"Sial, ternyata malah gagal dan berdarah-darah gini," umpat Ammara memegangi dahinya yang ternyata mengalirkan darah, ia pun menaruh plastik jualan di trotoar, lalu melepas jaketnya dan menahan darah di dahinya.


Perih di kaki pun membuatnya lemas, tapi dia tahan dan tetap mengatur kekuatan fisiknya untuk bisa mencari klinik terdekat.


"Mbak," panggil Aarav mendekat dan Ammara menoleh dengan kesal. "Saya antar berobat."


Ammara tertawa sinis dan menoleh. "Gak usah, nanti mobilmu kotor diduduki perempuan miskin dan penipu. Apalagi darahnya ngalir gini."


Aarav tersenyum dan merasa bersalah.


"Okay, so…"


Ammara sudah melangkah dengan terpincang dan menyeberang.


"Gadis yang aneh, keras kepala sekali dia." Aarav menatap dan menggeleng. Ia pun kembali ke mobil ayahnya. "Dia menolak ditolong."


"Takutnya ada yang rekam dan viralin, setidaknya kita susul dia ke klinik. Sepertinya dia menuju klinik di belokan sana." Rayhan menatap putranya yang menyetir, ia pun mengangguk dan memutar kendaraannya menyusul Ammara yang memang benar ke arah klinik.


Mereka takut ini menjadi viral, bukan karena kasihan dengan gadis miskin itu. Akhirnya Rayhan menghubungi sopir dan meminta mobil putranya diantar ke klinik.


"Nanti mobil kamu dibawa ke sini, biar Daddy dengan sopir saja. Kita bahas pernikahanmu dengan Natalie nanti di rumah."


"Oke, Dad." Aarav pun turun dan masuk ke dalam klinik di mana Ammara sedang ditangani.


Dia bertanya tentang gadis yang terluka tadi, rupanya sudah di ruang dokter praktik karena didahulukan akibat darahnya lumayan banyak.


"Ketabrak, Mbak? Gak tanggung jawab orangnya?" tanya dokter yang membersihkan darah di kaki dan kening Ammara.


"Orang kaya mana peduli, malah nuduh saya penipu." Ammara kesal padahal dia memang sengaja. Sayang, triknya memang gagal.


"Ya ampun, sabar ya. Ini 'kan dahinya agak panjang robeknya, harus dijahit biar darahnya gak ngalir terus."


"Aduh, jangan, Dok, saya takut jarum. Bisa pingsan saya nanti." Ammara meringis dan menggeleng.


"Tapi ini darahnya gak berhenti-berhenti lho, gimana? Dijahit sambil merem gak takut kok."


"Gak mau! Aduh, saya kalau lihat jarum apa saja lemes, Dok." Ammara memohon dengan manja.


Di pintu, Aarav tersenyum melihat ketakutan Ammara, pun saat mencurahkan isi hatinya akibat dia tuduh sengaja menabrakan diri.


"Ehm!" Aarav masuk dan tersenyum.


"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ammara. "Aku masih bisa bayar kok meski cuma jualan rempeyek, daripada nuduh orang mau nipu."


Aarav tersenyum dan melihat darah keluar lagi dari dahi Ammara.


"Dijahit saja, Dok. Saya akan tanggung biayanya. Saya yang tabrak."


"Mbaknya gak mau, susah kalau gini." Dokter tersenyum.


"Siapkan saja jarum dan benangnya." Aarav mengatur sesuka hati membuat Ammara membuka mulutnya.


"Eh, kamu jangan seenaknya. Nanti aku pingsan kamu kira pura-pura lagi. Aku phobia jarum, jadi jangan seenaknya."


"Pejamkan mata kamu." Aarav mendekat.


"Jangan, Dok, kasih perban saja." Ammara terus menolak sampai tubuhnya lemas.


Spontan, Aarav mendekapnya dari belakang, menahan kedua tangan gadis itu agar tidak berontak.


"Merem," pinta dokter perempuan yang berhijab tersebut tersenyum.


Ammara memejamkan mata dan kedua tangan Aarav melingkar di tubuhnya. Ia meringis dan terisak dan akhirnya melemah karena ketakutan.


Sementara itu, Aarav menghirup aroma rambutnya yang meskipun sedikit bau matahari tapi dapat tercium wangi sampo. Ia pun menatap wajah gadis yang menangis dan menyandarkan kepala di pundaknya, wajahnya manis meskipun kulitnya tak semulus calon istrinya. Bibirnya bergetar dan ditarik ke samping, hidungnya juga mancung. Cantik alami.


"Nah, udah. Cuma dua jahitan kok." Dokter memakaikan perban dan Aarav melepas pelukannya. Padahal sejak melihat jarum, Ammara sudah tidak bisa berontak, langsung lemas. Namun, lelaki itu tetap memeluknya.


Ammara terisak memegang dahinya yang diperban. Lucu dan lugu terlihat unik untuk Aarav. Apalagi dia menangis dan diam saja sambil menatap plastik jualannya. Plastik besar warna hitam berisi rempeyek kacang.


"Saya beli peyeknya dua ya, berapaan?" tanya dokter menghibur.


"Sepuluh ribu," jawab Ammara dengan lemah.


"Ini, ambil ya." Dokter memberikan uang lima puluh ribu.

.

Ammara pun merogoh jaketnya yang penuh darah dengan mata yang merah dan basah, lalu mengambil kembalian.


"Jangan kasihani saya, nanti saya malas," ujar Ammara dengan senyuman.


"Ya ampun, usia kamu berapa?" tanya dokter.


"Dua empat, udah lagi lamar kerjaan sih, tapi belum ada panggilan makanya jualan dulu. Makasih ya, Dok," ujar Ammara turun dari ranjang dengan hati-hati dan berjalan pincang.


Aarav tersenyum karena dianggap tidak ada oleh gadis yang mungkin masih kesal padanya. Ia pun menyusul Ammara dan melihat gadis itu tengah membayar di kasir, serta menerima obat di apotek bersamaan.


Setelah itu dia keluar dan berdiri di pinggir jalan, menoleh ke mobil mewah yang terparkir di sana.


"Mau aku antar?" tanya Aarav berdiri di samping Ammara.


Hening, gadis itu tak menjawab. Dia tengah menimbang baik buruknya semua ini untuk menjalankan misi balas dendamnya. Jika dia terlalu cepat akrab, khawatir dia terlalu kentara tujuan aslinya. Kalau menolak, takut tidak bertemu lagi.


"Hey, aku serius minta maaf. Aku siap antar kamu pulang dan ganti kerugian kamu." Aarav menatap jam tangan mewahnya.


"Tidak usah, Pak. Bagi orang miskin seperti kami, esok saja seperti tidak ada kehidupan. Jadi, tidak usah merasa bersalah. Tapi kalau mau bantu, pesankan ojek online saja. Jangan kotori mobil dan diri Anda dengan membantuku," papar Ammara dengan senyuman yang manis.


Aarav menatap wajah Ammara yang begitu lantang dan keras kepala. Ia pun mengeluarkan ponsel dan memesan ojek online. Tak butuh waktu lama ojek datang, dia pun memberikan uang pada driver ojek dan Ammara naik tanpa mengatakan sepatah kata pun padanya.


Gadis itu terus memutar otak agar bisa mencapai tujuannya, balas dendam. Hingga ojek berhenti di sebuah rumah mewah dan menoleh.


"Udah sampe, Mbak."


"Eh, di mana ini?" Ammara bingung.


"Lho, ini sesuai map, Mbak."


Ammara baru ingat, Aarav tidak menanyakan alamatnya dan langsung memesan, artinya langsung tertuju ke alamat rumahnya. Dia pun menoleh ke belakang, rumah yang mungkin seluas lapangan bola itu membuatnya takjub.


"Jadi ini rumahnya, oke. Kapan-kapan aku bisa kirim santet," gumam Amara membuat tukang ojek online meringis menatapnya. "Ya udah, kayaknya si orang sombong malah pake alamat dia."


Tukang ojek langsung pergi karena takut dengan celotehan Ammara yang sesungguhnya bercanda. Dia pun mengamati rumah itu dan terbayang ibunya.


"Ibuku dipasung di kamar belakang, dan kamu enak-enakan di rumah semewah ini?" gumam Ammara dengan mata yang basah. "Aku bersumpah, aku akan hancurkan keluargamu Rayhan. Jika benar kamulah pelakunya dan ayah biologis aku. Tidak akan kumaafkan, sampai kau cuci kaki ibuku dengan tanganmu."


Mata Ammara merah dan berair dengan tubuh yang gemetar menahan amarah. Dia pun merogoh ponsel di sakunya, berniat memesan ojek online lagi dengan air mata yang masih membasahi pipinya.


Namun, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Ia pun buru-buru memasukkan ponsel ke saku dan menatap Aarav yang tersenyum padanya.


"Aku salah, lupa menanyakan alamatmu," katanya dengan senyuman yang manis sekali.


Tampan? Tentu saja. Sebagai wanita normal dan dewasa, Ammara pun memuja kesempurnaan di hadapannya. Namun, dendamnya jauh lebih besar daripada kekaguman itu.


"Ponselmu..."


"Gak ada paket datanya, makanya gak bisa pesan ojek lagi. Lagi misscall teman siapa tahu dia hubungi balik dan peka kalau aku butuh paket data." Ammara memperlihatkan ponselnya.


"Aku antar, ayolah."


"Enggak, nanti mobil cantik itu kotor kena hawa orang miskin. Aduh, atau aku pingsan karena terlalu nyaman. Jadi, jangan kasihan padaku. Ok?" Ammara mencoba menekan ponselnya lagi.


"Berapa harga rempeyekmu?" tanya Aarav, rasa iba membuatnya makin sadar bahwa gadis keras kepala ini memang bukan orang jahat seperti dugaannya. Ia juga heran, kenapa begitu kasihan.


"Sepuluh ribu, tinggal dua belas. Mau beli?" tanya Ammara dengan meledek.


"Ya sudah, aku beli semua." Aarav merogoh lagi uang yang tadi. "Berapa keuntungan kamu jualan ini?"


"Seplastik untungnya empat ribu," jawab Ammara membuat Aarav tercekat.


"Berarti, keuntunganmu jualan?"


"Aku bikin tiga puluh, kalau habis semua ya dapat seratus dua puluh ribu." Ammara semringah.


Aarav terdiam. Baginya itu nilai yang sangat kecil, tapi bagi Ammara itu keuntungan yang besar.


"Ini..."


"Ibu gak pernah ajarkan aku mengemis dan menjual kesedihan untuk dapat uang. Aku masih muda, kamu boleh iba pada nenek atau kakek yang masih berdagang, tapi jangan padaku. Aku takut jadi malas," papar Ammara, lagi-lagi menolak uang satu juta dari Aarav.


Lelaki itu kembali memasukkan uangnya ke saku celana.


"Dua belas kali sepuluh, seratus dua puluh ribu. Dua puluhnya bisa gak isiin aku pulsa buat paket data biar bisa pulang?"


Mata hazel itu melebar dengan indah.


"Matamu bagus, apa ada keturunan luar negeri?" tanya Aarav sambil menyerahkan uang seratus ribu.


"Gak tahu, dari sononya."


"Mana nomormu?" tanya Aarav lagi.


Ammara menyebutkan nomornya dan tak lama notifikasi pembelian paket data masuk. Ia pun tersenyum dan menyerahkan plastik berisi rempeyek.


"Ini, ambil. Jangan dibuang. Kasih orang aja kalau gak doyan."


"Apa pandanganmu sama orang kaya selalu buruk?" Aarav kembali bertanya.


"Pertemuan pertama kamu kelihatan aslinya." Amara pun menekan layar dan memesan ojek online.


Aarav menerima plastik tadi, lalu memasukkannya ke dalam mobil. Kemudian ia pun masuk dan duduk di balik kemudi.


Sebuah motor berhenti di depan Ammara, gadis itu naik tanpa peduli dengan keberadaan Aarav.


"Gadis yang aneh. Saat semua wanita merendahkan diri untukku, dia malah membenciku. Unik." Aarav pun melajukan kendaraannya dan masuk ke rumah mewah itu.


Sementara itu, Ammara menoleh ke belakang.


"Mulai kepikiran aku, hem?" gumamnya dengan merancang strategi berikutnya. "Aku gak sabar buat hancurkan keluarga kalian sehancur masa depan ibuku."



Komen, like dan share ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Seorang Gadis Penjual Kue